Labels

Thursday, 23 April 2015

Pertanian Hidroponik

Hidroponik memang bukan teknik baru di dunia pertanian. Sudah banyak petani yang menggunakan sistem bertanam yang satu ini. Namun, potensi pengembangan hidroponik di Indonesia masih terbuka lebar. Pasalnya dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, kebutuhan pangan pun terus meningkat.
Salah satu produsen sayuran hidroponik ialah Parung Farm yang sudah berdiri 1997 di Bogor, Jawa Barat. Yudi Supriyono, Direktur Produksi dan Kemitraan Parung Farm, mengatakan, tujuan pendirian Parung Farm ialah menyediakan wadah pelatihan bagi masyarakat. Maklum saat itu, informasi mengenai seluk-beluk budidaya hidroponik masih terbatas.
Seiring dengan perkembangannya,  Parung Farm pun menjual sayuran hidroponik ke berbagai supermarket di Jabodetabek. “Dari setiap pelatihan, kan, selalu ada hasil panennya. Nah, ternyata sayuran itu banyak peminatnya, sehingga kami memutuskan untuk memasarkannya,” tutur Yudi.
Awalnya Parung Farm punya lahan di Bogor seluas 4 hektare (ha). Kemudian, produsen sayur hidroponik ini menambah lahan di Cianjur seluas 7 ha. Lokasi pengembangan berbeda karena ada beberapa jenis sayuran yang harus ditanam di dataran tinggi. Dari 7 ha lahan di Cianjur itu, Parung Farm menggunakan dua hektare lahan untuk pertanian hidroponik. Sementara sisanya digunakan untuk menanam sayuran dan buah organik.
Yudi menjelaskan peluang usaha dari pertanian hidroponik sangat menggiurkan. “Potensinya sangat bagus apalagi di masa depan,” tandas dia.
Hidroponik menjadi solusi yang tepat ketika lahan pertanian semakin sempit. Hidroponik merupakan sistem bertanam tanpa menggunakan media tanah. Sebagai pengganti, media tanam yang dipakai ialah air.
Pertanian dengan hidroponik juga memudahkan petani. Salah satunya, petani lebih mudah mengontrol nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Sementara itu,  kalau menggunakan tanah, nutrisi tak bisa dideteksi. “Kalau pakai air, kami bisa mengukur apakah nutrisi sudah cukup atau harus ditambah dengan pupuk,” ujar Yudi.
Sayuran hidroponik jadi pilihan masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas karena kualitasnya yang lebih baik dibandingkan dengan sayuran konvensional. Daya tahannya juga lebih lama, yakni mencapai empat hari. Sementara, sayuran yang ditanam dengan metode konvensional hanya bisa disimpan selama dua hari.
Hanya, menurut Yudi, kualitas sayuran hidroponik belum bisa menyamai sayuran organik. Pasalnya, tanaman hidroponik masih menggunakan bahan kimia sebagai pupuk. Akan tetapi, Yudi sama sekali tak menggunakan pestisida. “Bahan kimia yang kami gunakan bukan untuk mematikan hama, tapi mempercepat pertumbuhan tanaman,” jelas dia.
Yudi mengatakan, permintaan sayur hidroponik pun melonjak dari tahun ke tahun. Namun karena menyasar kelas ekonomi tertentu, sayuran hidroponik hanya dijual di supermarket dan belum menjangkau pasar tradisional. “Per tahun permintaan sayuran hidroponik naik 5%–15%,” ujar dia.
Produsen sayuran hidroponik lainnya ialah PT Saung Mirwan di Kecamatan Megamendung, Bogor. Perusahaan ini dirintis oleh Tatang Hadiwinata pada 1984. Awalnya, Saung Mirwan hanya memproduksi sayuran hidroponik. Lantaran persaingan yang ketat untuk produk itu, Saung Mirwan menambah produk berupa sayuran potong (fresh cute). Lini bisnis baru ini dimulai sejak 2005.

No comments: