Labels

Thursday, 23 April 2015

Londa, Menikmati Kuburan dari Balik Lensa

Secara kebetulan karena beberapa destinasi wisata kuburan alam Toraja letaknya berdekatan dan bisa dijangkau dalam sehari, maka dalam satu kunjungan saya sengaja mengatur jadwal kunjungan bersama tiga orang kawan ke kuburan
Tak ada angkutan umum yang melayani trayek ke Londa tapi ada jasa ojek yang bisa digunakan dengan ongkos Rp 5,000/ojek. Hanya saja bagi kami berempat tetap lebih seru berjalan kaki! Lagipula ‘gak terlalu jauh koq untuk sampai di kawasan wisatanya. Dari jalan besar berjarak sekitar 1,8 km, dengan berjalan santai 10 - 15 menit sudah sampai. Karena sepanjang perjalanan alamnya memikat, kami pun beberapa kali berhenti mengabadikan atau sekedar menghirup udara segarnya.
Saat lagi asik menikmati alam, kami berpapasan dengan seorang pejalan yang baru kembali dari Londa. Anton namanya, dia dari Kalimantan dan sedang menjalankan misi seorang pejalan menyusuri Sulawesi dari Utara hingga Selatan. Sebagai sesama pejalan tanpa terasa kami mengobrol akrab sembari menunggu tiga kawan yang asik memotret di bibir sawah. Karena dirinya hanya transit sehari di Toraja sebelum bertolak ke Pare-pare dengan bis malam, saya sarankan untuk mengunjungi upacara Rambu Solo’ (=upacara kematian) yang sedang berlangsung di desa Malakiri. Tempatnya tak jauh dari Rantepao, ibukota Toraja Utara dan yang terpenting momen kunjungannya menjadi lengkap. Setengah perjalanan, kami iseng menyetop sebuah kijang yang melaju dengan santai dan mendapat tumpangan gratis hingga ke pelataran Londa.
Londa adalah kuburan alam dari masa lampau yang diperuntukkan bagi kaum bangsawan dengan dua buah gua besar yang bisa dimasuki oleh pengunjung tempat menyimpan peti mati, tengkorak serta tulang belulang manusia. Dahulu kala Londa yang berada kawasan bukit Patabang Bunga ini adalah titik pertahanan bangsawan Toraja dari serangan Kerajaan Bone, sehingga untuk mengantisipasi serangan dibangunlah sebuah benteng pertahanan di punggung bukit yang dikenal dengan Benteng Tarangenge.
Patung atau tau-tau, sebuah replika dari mereka yang telah meninggal berjejer rapi di singgasananya menyambut kedatangan pengunjung. Ukuran tau-tau sesuai dengan aslinya dan didandani layaknya si empunya semasa hidupnya. Ada yang memegang tongkat, mengenakan kaca mata, membawa kantong sirih dan lain-lain. Tidak semua yang meninggal memiliki patung, hanya golongan bangsawan yang prosesi pemakamannya diawali dengan upacara adat tertinggi yang berhak dibuatkan patung tersebut.
Di bagian luar gua pengunjung akan menjumpai beberapa peti mati model kuno yang digantung di dinding ataupun diletakkan begitu saja di atas tanah, diletakkan sesuai dengan strata sosial dari yang meninggal. Peti mati ini disebut erong dengan 3 (tiga) bentuk dan fungsinya masing-masing: rumah adat (=untuk keturunan bangsawan), kerbau (= untuk laki-kali) dan babi (= untuk perempuan). Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi pula letak erong-nya.
Tertantang untuk melihat lebih dekat ada apa di dalam gua? Jangan sia-siakan kesempatan itu! Kedalaman gua +/- 1000 meter, dapat diakses dengan bantuan penerangan lampu petromaks yang bisa disewa di depan pintu masuk seharga Rp 25,000/lampu sudah termasuk pemandu. Meski telah membawa headlamp kami tetap menyewa sebuah lampu petromaks untuk mengantisipasi sumber cahaya saat memotret. Dan, kami beruntung mendapatkan paket sewa lampu dengan pemandu yang cukup informatif dalam berbagi kisah seputar kuburan Londa.
Puas keluar masuk di dua gua yang ada, kami beristirahat sejenak di bangku-bangku yang terbuat dari batu di pelataran taman kecil di depan mulut gua. Di pelataran ini cukup sejuk menikmati panorama Londa. Untuk kembali ke gerbang utama, kami sengaja memilih jalan memutar dan meniti undakan yang lebih banyak sembari mampir di gerai pengrajin untuk melihat buah tangan khas Toraja

 

No comments: