Tak ada
angkutan umum yang melayani trayek ke Londa tapi ada jasa ojek yang bisa
digunakan dengan ongkos Rp 5,000/ojek. Hanya saja bagi kami berempat tetap
lebih seru berjalan kaki! Lagipula ‘gak terlalu jauh koq untuk sampai di
kawasan wisatanya. Dari jalan besar berjarak sekitar 1,8 km, dengan berjalan
santai 10 - 15 menit sudah sampai. Karena sepanjang perjalanan alamnya memikat,
kami pun beberapa kali berhenti mengabadikan atau sekedar menghirup udara
segarnya.
Saat lagi asik menikmati alam, kami berpapasan dengan
seorang pejalan yang baru kembali dari Londa. Anton namanya, dia dari
Kalimantan dan sedang menjalankan misi seorang pejalan menyusuri Sulawesi dari
Utara hingga Selatan. Sebagai sesama pejalan tanpa terasa kami mengobrol akrab
sembari menunggu tiga kawan yang asik memotret di bibir sawah. Karena dirinya
hanya transit sehari di Toraja sebelum bertolak ke Pare-pare dengan bis malam,
saya sarankan untuk mengunjungi upacara Rambu
Solo’ (=upacara kematian) yang sedang berlangsung di desa Malakiri.
Tempatnya tak jauh dari Rantepao, ibukota Toraja Utara dan yang terpenting
momen kunjungannya menjadi lengkap. Setengah perjalanan, kami iseng menyetop
sebuah kijang yang melaju dengan santai dan mendapat tumpangan gratis hingga ke
pelataran Londa.
Londa adalah
kuburan alam dari masa lampau yang diperuntukkan bagi kaum bangsawan dengan dua
buah gua besar yang bisa dimasuki oleh pengunjung tempat menyimpan peti mati,
tengkorak serta tulang belulang manusia. Dahulu kala Londa yang berada kawasan
bukit Patabang Bunga ini adalah titik pertahanan bangsawan Toraja dari serangan
Kerajaan Bone, sehingga untuk mengantisipasi serangan dibangunlah sebuah
benteng pertahanan di punggung bukit yang dikenal dengan Benteng Tarangenge.
Patung atau tau-tau,
sebuah replika dari mereka yang telah meninggal berjejer rapi di singgasananya
menyambut kedatangan pengunjung. Ukuran tau-tau
sesuai dengan aslinya dan didandani layaknya si empunya semasa hidupnya. Ada
yang memegang tongkat, mengenakan kaca mata, membawa kantong sirih dan
lain-lain. Tidak semua yang meninggal memiliki patung, hanya golongan bangsawan
yang prosesi pemakamannya diawali dengan upacara adat tertinggi yang berhak
dibuatkan patung tersebut.
Di bagian
luar gua pengunjung akan menjumpai beberapa peti mati model kuno yang digantung
di dinding ataupun diletakkan begitu saja di atas tanah, diletakkan sesuai
dengan strata sosial dari yang meninggal. Peti mati ini disebut erong dengan 3 (tiga) bentuk dan
fungsinya masing-masing: rumah adat (=untuk keturunan bangsawan), kerbau (=
untuk laki-kali) dan babi (= untuk perempuan). Semakin tinggi status sosialnya,
semakin tinggi pula letak erong-nya.
Tertantang untuk melihat lebih dekat ada apa di dalam
gua? Jangan sia-siakan kesempatan itu! Kedalaman gua +/- 1000 meter, dapat
diakses dengan bantuan penerangan lampu petromaks yang bisa disewa di depan
pintu masuk seharga Rp 25,000/lampu sudah termasuk pemandu. Meski telah membawa
headlamp kami tetap menyewa sebuah lampu petromaks untuk mengantisipasi
sumber cahaya saat memotret. Dan, kami beruntung mendapatkan paket sewa lampu
dengan pemandu yang cukup informatif dalam berbagi kisah seputar kuburan Londa.
Puas keluar masuk di dua gua yang ada, kami
beristirahat sejenak di bangku-bangku yang terbuat dari batu di pelataran taman
kecil di depan mulut gua. Di pelataran ini cukup sejuk menikmati panorama
Londa. Untuk kembali ke gerbang utama, kami sengaja memilih jalan memutar dan
meniti undakan yang lebih banyak sembari mampir di gerai pengrajin untuk
melihat buah tangan khas Toraja
No comments:
Post a Comment