Pakaian seragam harian baru saja ditanggalkan Diah Meidianti. Setelah
berganti kostum: kaos dan celana hitam, Mei melesat ke Taman Galaksi, di
pinggiran timur Jakarta. Di kompleks perumahan itu ia mengangkut beragam
sayuran.
Diah Meidianti memang mengelola sebuah kebun kecil-luasnya 3.500
m2p-untuk menanam sayuran semusim. Lokasi lahan terjepit tembok-tembok
perumahan elite itu. Lahan itu merupakan tanah kosong yang belum dibangun oleh
pengembang perumahan. Mei, alumnus Institut Pertanian Bogor, menyewa Rp1,5-juta
per tahun sejak 2006. Di sanalah perempuan 45 tahun itu membudidayakan 10 jenis
sayuran secara bergilir.
Ketika Trubus berkunjung ke kebun itu, Mei tengah menanam kangkung,
selada, bayam merah, kacangpanjang, dan terung. ‘Saya sengaja memilih sayuran
berumur pendek, agar cepat panen,’ kata Mei yang pernah mengikuti sistem
budidaya organik di Nakhonratchasima, Thailand, selama 4 bulan. Selain
komoditas itu, sayuran lain yang ia tanam adalah pakcoy, mentimun, dan pare.
Rp17-juta
Sayuran itu ditanam di guludan-guludan berukuran 1,2 m x 10 m. Total
jenderal terdapat 280 bedeng atau guludan. Satu jenis sayuran dibudidayakan di
10 bedeng. Itulah sebabnya ia rutin memanen 300 kg masing-masing kangkung,
caisim, bayam merah, pakcoy, dan 240 kg masing-masing kacangpanjang, mentimun,
daun ginseng, terung ungu, serta pare saban bulan.
Volume produksi itu sesuai yang diminta pasar. Dengan teknik budidaya
organik-Mei memberikan pupuk nonkimia-sayuran yang dihasilkannya bermutu
tinggi. Semua hasil panen ia pasok ke sebuah pasar swalayan di bilangan
Mampangprapatan, Jakarta Selatan. Perempuan kelahiran Surabaya, 27 Mei 1963 itu
memperoleh harga rata-rata Rp6.000-Rp7.000 per kg.
Itu berarti omzet Mei mencapai Rp17-juta per bulan, jauh lebih besar
ketimbang gajinya sebagai karyawan golongan IVA di sebuah departemen. Biaya
produksi untuk benih, pupuk, dan tenaga kerja Rp7-juta. Tanpa memperhitungkan
sewa lahan, laba bersih Mei Rp10-juta sebulan. Selain Mei yang juga mengebunkan
sayuran di lahan sempit-kurang dari 5.000 m2p-adalah Kunaria Prakoso Karamoy.
Sehari-hari Kunaria beraktivitas sebagai konsultan perusahaan minyak dan
gas. Pada akhir pekan barulah ia ke Gunungbatu, Kotamadya Bogor. Lokasinya
ditempuh 15 menit dari Kebun Raya Bogor. Di halaman rumahnya seluas 2 kali
lapangan voli, Kunaria membudidayakan beragam sayuran seperti kangkung, selada,
terung, dan bayam. Kunaria menanam sayuran dalam bedeng bersemen. Ukurannya 9 m
x 1,5 m x 20 cm. Ada 10 kotak hidroponik yang ditempatkan pada lahan 400 m2p.
Cepat panen
Media tanam dalam bak bedeng berupa campuran pasir, serbuk kayu, dan
pupuk. Tanaman yang dipilih pun cepat panen agar risiko terkena hama penyakit
rendah. Dalam satu bulan, minimal Kunaria memanen 50-70 kg kangkung, 20 kg
pakcoy, 10 kg selada, 20 kg terong, dan 30 kg bayam merah. Semua sayuran itu
diserap habis setiap saat oleh restoran di Ciawi, Kabupaten Bogor. Dengan harga
jual rata-rata Rp 15-ribu/kg, omzetnya mencapai Rp1.950.000. Menurut Kunaria
biaya produksinya rendah, Rp600-ribu/bulan. Pendapatan bersihnya
Rp1.350.000/bulan.
Semula berhidroponik di depan halaman rumah, hanya sekadar hobi. Setelah
2 bulan menekuni hobi, seorang pedagang menawar hasil panennya. Sejak itulah ia
membisniskan sayuran di lahan sempit. ‘Yang penting tidak repot atau mengganggu
pekerjaan dan tidak becek,’ kata Kunaria. Perkataan serupa disampaikan Allen
Hartono. Kontraktor di Surabaya, Jawa Timur, itu mengusahakan sayuran di lahan
48 m2p berketinggian 700 m dpl. Lokasinya di Plawah, Pasuruan. Ia menanam
bayam, caisim, kalian, sawi, kembang kol, dan kangkung dalam rumahtanam
berukuran 12 m x 4 m. Di sana ia membangun 2 rumahtanam mungil.
Dengan pupuk kimia racikannya, Allen mampu memanen kangkung dalam 21
hari, caisim 27 hari, kalian 30 hari, dan sawi kembang 27 hari. Biaya
produksinya hampir sama; Rp2.600/250 gram. Jumlah produksinya mencapai 4.800
tanaman yang dikemas menjadi 1.200 bungkus berukuran 250 g. Dengan harga jual
rata-rata Rp4.000/250 g, Allen memperoleh Rp1.680.000/bulan.
Depan rumah
Untuk membuka pasar tidaklah sulit. Menurut Allen, asal memberi contoh
ke pasar swalayan dan disetujui, biasanya langsung bisa kirim. Selain itu,
Allen kerap menjual ke rekan dan kerabatnya. Sedangkan Kunaria dengan mudah
menjual ke penjual sayuran di sekitarnya untuk dipasok ke pasar. Oleh sebab
itu, berbisnis sayuran bukan hanya hobi yang tersalurkan tapi laba diperoleh
dengan hanya memanfaatkan halaman di depan rumah.
Menurut Drs Yudha Herry Asnawi MM, pakar Agribisnis Institut Pertanian
Bogor, mengusahakan sayuran di lahan pekarangan jadi salah satu cara menambah
pendapatan. Dengan luasan dan modal kecil, biasanya juga mendapatkan laba
kecil. Walaupun begitu lahan yang sebelumnya tidak menghasilkan apa pun, bisa
memberikan pendapatan tambahan. Untuk melambungkan laba mesti meningkatkan
performa. Dengan pencucian dan pengemasan yang lebih baik, sayuran bisa
diterima di pasar swalayan dengan harga di atas rata-rata.
Tertarik budidaya bisnis sayuran di lahan sempit? Ubah lahan pekarangan
Anda menjadi guludan-guludan tanah atau rumahtanam hidroponik. Dengan sedikit
perhatian, laba dari panen sayuran bakal masuk ke kantong Anda.
No comments:
Post a Comment